Edisi 1801
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Saudaraku yang semoga senantiasa dirahmati Allah Ta’ala, kita telah memasuki bulan Muharram. Masyarakat Jawa lebih mengenal bulan ini dengan nama bulan Suro. Bulan Suro bukanlah bulan kesialan, bukan pula bulan dimana kita harus menghindari aktivitas dan mengurungkan hajat besar kita karena takut kesialan.
Akan tetapi, bulan Muharram sejatinya adalah bulan yang telah Allah muliakan sebagai salah satu dari empat bulan haram (yang disucikan). Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memuliakan bulan ini dengan ibadah dan amalan soleh.
Mulianya Bulan Muharram
Pembaca yang budiman, Allah Ta’ala telah memuliakan bulan Muharram sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (Q.S. At Taubah : 36).
Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, yaitu tiga bulan berturut-turut Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang ada diantara bulan Jumada dan Sya’ban.” (H.R. Bukhari).
Mengapa keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram?
Al Qadhi Abu Ya’la rahimahullah menjelaskan,“ Dinamakan bulan haram karena dua makna :
[Pertama] pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah dahulu.
[Kedua] pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan maksiat secara umum lebih ditekankan daripada bulan-bulan lainnya disebabkan mulianya bulan tersebut.” (Zaadul Masir, III/432).
Peluang amal shalih di bulan Muharram
[1] Memperbanyak puasa sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yakni bulan Muharram. Dan salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (H.R. Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadits di atas merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa (setelah bulan Ramadhan –pen.) adalah pada bulan Muharram” (Syarh Shahih Muslim, VIII/55).
Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah, dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Latho-if Al Ma’arif, hal. 71).
[2] Puasa ‘Asyura (10 Muharram)
Pembaca yang dicintai Allah, hari ‘Asyura (10 Muharram) adalah hari yang dimuliakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertutur tentang keutamaan hari ‘Asyura dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (hari ‘Asyura) dan bulan ini (bulan Ramadhan).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Di antara bentuk memuliakan hari ‘Asyura adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,” Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asyura, mereka mengatakan, ‘Ini adalah hari di mana Musa berhasil mengalahkan Fir’aun.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat, ”Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah!” (H.R. Bukhari).
Tak hanya itu, Nabi pun telah mengabarkan tentang besarnya ganjaran bagi orang yang berpuasa di hari ‘Asyura. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Qatadah Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi ditanya tentang puasa ‘Asyura, kemudian beliau menjawab, ‘Puasa Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lalu’.” (H.R. Muslim).
[3] Menyelisihi Yahudi dengan puasa Tasu’a (9 Muharram)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani’. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga pada 9 Muharram (Puasa Tasu’a)”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah telah wafat.” (H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama ada yang berpendapat tidak disukainya berpuasa tanggal 10 Muharram saja karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi. Tetapi, ulama lain membolehkan meskipun pahalanya tidak sebanding dengan pahala puasa tanggal 10 yang digandengkan dengan puasa 1 hari sebelumnya yakni puasa Tasu’a (9 Muharram) (Syarhul Mumti’).
[4] Perbanyak amal shalih dan jauhi maksiat
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Janganlah kalian menganiaya diri kalian di bulan-bulan tersebut.” (Q.S. At Taubah : 36).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan, ”Allah telah mengkhususkan empat bulan tersebut dari dua belas bulan yang ada. Allah pun menjadikannya sebagai bulan-bulan yang haram (disucikan) dan mengagungkan kemuliaannya. Allah jadikan dosa yang dilakukan di bulan tersebut lebih besar (perhitungannya) dibandingkan bulan-bulan lainnya, serta memberikan pahala yang lebih besar untuk amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/444).
Qatadah juga mengatakan, ”Sesungguhnya kezhaliman di dalam bulan-bulan haram lebih besar bahaya dan dosanya dibandingkan kezhaliman di bulan-bulan lainnya. Padahal, perkara kezhaliman merupakan dosa yang besar dalam setiap kondisi, tetapi Allah menjadikan sebagian perkara menjadi agung sesuai dengan kehendak-Nya.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/444).
Oleh karenanya saudaraku, marilah kita perbanyak amal ketaatan di bulan ini dengan membaca Al Qur’an, banyak berpuasa, sedekah, salat malam, berdzikir, dan lainnya mengingat besarnya pahala yang Allah janjikan. Pun tak lupa, jauhi maksiat kepada Allah yang sejatinya adalah perbuatan menzhalimi diri kita, karena dosa di bulan haram lebih besar dibandingkan dosa-dosa selain bulan haram.
Muharram bukan sekadar selebrasi, tapi bulan introspeksi
Saudaraku yang semoga senantiasa dicintai Allah, tak terasa kita telah berada di awal bulan hijriyah. Begitu cepatnya tahun berganti sampai-sampai kita tidak sadar usia kita di dunia pun semakin berkurang. Perlahan tapi pasti, kita semakin dekat dengan kehidupan akhirat.
Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bertutur, “Sesungguhnya dunia telah berlalu jauh ke belakang, sedangkan akhirat datang menjelang. Masing-masing memiliki anak (yakni hamba dunia dan hamba akhirat). Jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Sebab, hari ini yang ada hanyalah amal dan belum ada hisab (perhitungan amal), sementara esok (hari akhir) yang ada hanyalah hisab dan bukan saat beramal.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/378, Fathul Bari, 11/239).
Pergantian tahun hijriah bukanlah termasuk hari raya dalam Islam yang harus disambut dengan selebrasi. Esensi yang lebih penting, pergantian tahun mengajak kita untuk mengintrospeksi diri, menyadari ternyata umur kita semakin bertambah. Lalu muncul pertanyaan di benak kita, “Semakin bertambah usia kita, apakah kita semakin dekat menuju surga atau malah semakin dekat ke neraka?”.
Karenanya saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita kerjakan di hadapan Allah kelak?
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (Q.S. Al Hasyr : 18).
Menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Yaitu, hendaklah kalian menghisab (menghitung-hitung) amalan (diri) kalian sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah amal kebaikan apa yang telah kalian persiapkan sebagai bekal kembali menghadap kepada Rabb kalian.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, IV/417).
Semoga Allah karuniakan hidayah taufik-Nya kepada kita agar senantiasa mengintrospeksi diri dan sibuk menyiapkan bekal menuju kampung akhirat. Semoga Allah juga mudahkan kita beramal salih di bulan yang mulia ini dan menjauhkan kita dari perbuatan maksiat, sehingga kita semua kelak sampai di tujuan utama kita. Ya, sampai di surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin.
Penulis: Bagas Prasetya Fazri ,S. Farm., Apt. (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Murajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.